Selasa, 10 November 2009

Renungan Khotbah Minggu, 8 Nopember 2009

MEMBERI DENGAN HATI

Rut 3:1-5, 4:13-17; Mzm. 127; Ibr. 9:24-28; Mark. 12:38-44

Pengantar

Makna memberi dengan hati hampir sering diucapkan oleh setiap orang yang merasa dirinya beradab dan beragama. Sehingga pembahasan hal “memberi dengan hati” bukanlah khas suatu agama tertentu atau suatu peradaban tertentu. Makna “memberi dengan hati” merupakan filosofi yang telah dipahami oleh umat manusia sepanjang sejarahnya, tetapi juga sekaligus yang sering diabaikan dalam sejarah hidup manusia. Sebagian dari sejarah hidup umat manusia mengisahkan para tokoh yang rela untuk memberikan apa yang dimiliki termasuk pula orang-orang yang mau mengurbankan hidupnya. Heroisme mereka ditandai oleh karakter kepahlawanan yang mau berkurban bagi sesamanya. Tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari ternyata lebih banyak umat manusia yang selalu berjuang untuk kepentingannya sendiri bahkan pula mereka tega untuk merebut hak milik orang lain dengan cara yang keji. Sejarah hidup manusia ditandai oleh umat yang memiliki spiritualitas kemurahan hati dengan selalu memberikan segala yang dimilikinya dengan hati yang tulus; sekaligus ditandai oleh umat yang berjiwa kikir dan kejam untuk selalu merebut segala hal yang dimiliki oleh sesamanya. Jika demikian, apakah fenomena memberi dengan hati yang tulus atau orang-orang yang sangat kikir dan gemar mengorbankan orang lain sekedar suatu cetusan karakter yang disandang seseorang sejak lahir? Jika memang orang-orang yang memiliki kemurahan hati disebabkan oleh karakter, maka kemurahan hati lebih banyak ditentukan oleh “nasib baik” yang membentuknya. Sebaliknya orang-orang yang kikir lebih banyak ditentukan oleh “nasib buruknya”. Dengan demikian, pembahasan mengenai panggilan untuk memberi dengan hati yang tulus akan menjadi suatu kesia-siaan belaka sebab panggilan tersebut menjadi tidak relevan dengan mereka yang terbelenggu oleh “nasib buruk”. Padahal sikap memberi dengan hati yang tulus bukanlah disebabkan oleh nasib baik, tetapi hasil dari spiritualitas yang proaktif.

Proaktif, Bukan Determinisme
Penjelasan tentang pengertian “proaktif” bukan sekedar suatu dorongan hati seseorang untuk melakukan suatu aktivitas tertentu. Proaktif bukan sekedar suatu inisiatif. Sebab di dalam pengertian proaktif lebih menekankan suatu inisiatif yang didasari oleh tanggungjawab moral sedemikian rupa, sehingga dia mampu mengambil suatu keputusan dan tindakan yang luhur bagi sesamanya. Itu sebabnya dalam pengertian proaktif, terkandung respon dan kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan bertanggungjawab. Sangat terlihat dengan jelas bentukan kata “tanggungjawab” (responsibility) yang berasal dari kata “respon” dan “ability” yang memampukan seseorang untuk proaktif dalam suatu situasi. Karena mereka mampu memberi respon, maka mereka mampu memilih dari sekian kemungkinan yang tersedia untuk dijadikan dasar moral dari keputusan dan tindakannya. Dengan demikian seseorang yang proaktif untuk memberi dengan hati sesungguhnya orang-orang yang melakukan sesuatu dengan penuh kesadaran. Perilaku mereka untuk memberi dengan hati merupakan hasil atau produk dari pilihan sadar mereka. Pilihan etis-moril mereka ditentukan oleh nilai dan bukan ditentukan oleh kondisi eksternal ataupun kondisi internal perasaan. Karena itu orang-orang yang proaktif adalah orang-orang yang bebas dan jauh dari sikap tertekan atau ancaman apapun. Kebaikan dan kepedulian mereka pada hakikatnya hasil dari pilihan moril yang dilakukan dengan bebas. Tetapi tidaklah demikian sikap orang yang reaktif! Sebab orang-orang yang reaktif termasuk pula mereka yang terdorong untuk melakukan “perbuatan baik” lebih ditentukan oleh kondisi eksternal dan kondisi internal yang mempengaruhi diri mereka. Apabila kondisi eksternal dan kondisi internal mendukung, maka mereka akan melakukan hal-hal yang baik dan mulia. Tetapi apabila mereka dikuasai oleh kondisi eksternal dan kondisi internal yang tidak menyenangkan hati atau melukai, maka mereka akan berperilaku buruk. Sikap orang yang reaktif sebenarnya lebih bersifat deterministis. Orang yang reaktif sebenarnya tidak memiliki kebebasan, sebab dia lebih banyak dikendalikan oleh sesuatu. Sebaliknya seorang yang proaktif adalah para pribadi yang bebas dan mampu mengendalikan segala sesuatu di bawah nilai-nilai yang diyakini dengan benar.


Makna memberi dengan hati yang tulus tidaklah mungkin dilakukan oleh orang-orang yang cenderung untuk reaktif. Mungkin sesekali orang-orang yang reaktif mampu memperlihatkan suatu tindakan yang berani untuk berkurban. Mereka mungkin mampu memperlihatkan kepedulian untuk memberikan bantuan yang diperlukan oleh sesamanya. Tetapi segala perbuatan mereka yang tampak mulia dan penuh kasih itu tidak mampu bertahan dalam jangka waktu yang panjang. Sebab dalam praktek hidup sehari-hari mereka akan lebih banyak memperlihatkan gejolak perasaan dan karakter khas mereka yang sesungguhnya. Yang mana kehidupan mereka lebih dominan ditandai oleh sikap yang serba emosional, tidak tulus dalam memberi, mengharap pamrih dan mencari puji-pujian atau kehormatan. Sehingga mereka akan kembali bersemangat untuk memberi dan mempersembahkan sesuatu apabila orang-orang di sekitarnya memberi pujian. Sebaliknya mereka akan menjadi tidak bersemangat dan patah arang saat orang-orang di sekelilingnya tidak memberikan pujian sebagaimana yang diharapkan. Jadi seharusnya makna memberi dengan hati yang tulus tidaklah ditentukan oleh lingkungan sekitar atau reaksi orang-orang yang menjadi “obyek” dari tindakan kasih tersebut.


Bukan Spiritualitas Panggung

Kadang-kadang timbul pertanyaan di dalam hati saya saat menyaksikan perbedaan yang mencolok hasil persembahan yang diserahkan dengan maju ke depan dengan persembahan yang diserahkan dengan cara konvensional “tersembunyi”. Umumnya hasil persembahan yang diserahkan dengan maju ke depan mimbar jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan suatu persembahan yang diserahkan dengan cara yang “tersembunyi”. Tampaknya terdapat efek “psikologis” yang begitu berpengaruh bagi anggota jemaat yang teknis penyerahan persembahannya dilakukan di depan mimbar ketimbang hanya dilakukan dalam posisi duduk. Tentunya efek tersebut bukan ditentukan karena sekedar masalah teknis anggota jemaat tersebut menyerahkan persembahannya dengan cara duduk atau berdiri. Tetapi tampaknya “psikologis” anggota jemaat akan merasa lebih luhur saat mereka menyerahkan persembahannya dengan cara maju ke depan mimbar, dan mereka merasa kurang luhur saat menyerahkan persembahannya dalam posisi duduk. Perasaan yang muncul di sini tentunya bukan sekedar suatu persepsi emosi anggota jemaat dalam menghayati makna pemberian atau persembahannya. Tetapi di balik hal yang tampaknya teknis tersebut sebenarnya mencerminkan karakter dasar dan spiritualitas para anggota jemaat. Jadi lebih tepat anggota jemaat telah mengekspresikan kecenderungan sikap reaktif ataukah sikap proaktifnya. Apabila mereka terdorong untuk memberi lebih banyak saat harus menyerahkan persembahannya adalah disebabkan mereka dipengaruhi oleh penilaian dan pandangan orang lain. Mereka terdorong untuk memberi lebih banyak dengan sikap saleh karena mereka sadar bahwa saat itu mereka sedang menjadi pusat perhatian. Sikap reaktif mereka identik dengan spiritualitas panggung, di mana mereka menjadikan pemberian atau persembahan sebagai ajang tontonan. Dengan demikian seseorang yang reaktif selalu mengukur pemberiannya berdasarkan sorotan penilaian orang lain.


Di Mark. 12:38-40 menyaksikan bagaimana Tuhan Yesus mengingatkan agar para murid tidak mengikuti jejak spiritualitas para ahli Taurat yang gemar mencari pujian dan kehormatan di depan orang banyak. Sebab para ahli Taurat gemar mengenakan pakaian keagamaan mereka dengan berjalan-jalan di pasar agar orang-orang yang berjumpa mau menyapa dan memberi penghormatan yang khusus. Pakaian keagamaan sengaja mereka kenakan agar Allah menyelubungi mereka dengan aura kekudusan, sehingga mereka memperoleh penghormatan yang tidak semestinya dari orang-orang sekitar. Spiritualitas panggung senantiasa merendahkan Allah dan karyaNya sebagai tontonan murah, tetapi pada saat yang sama mereka berupaya merebut kemuliaan Allah untuk kepentingan diri sendiri. Itu sebabnya spiritualitas panggung menghasilkan sikap yang serba munafik dan jauh dari sikap kasih kepada Allah serta sesamanya. Sehingga orang-orang dengan spiritualitas panggung tidak akan segan-segan mengeluarkan dana atau pemberian yang besar asalkan seluruh persembahan mereka diliput besar-besaran oleh media massa. Semakin besar media massa dan para penonton yang menyaksikannya, maka semakin besar pula jumlah dan aksi persembahan mereka. Media panggung sering menjadi daya rangsang bagi mereka untuk melakukan kebaikan dan pemberian kasih secara demonstratif. Singkatnya mereka tidak memberi karena kasih yang lahir dari hati mereka, tetapi memanipulasi pemberian kasih untuk memperoleh pujian dan penghormatan.


Motif Dan Teologi

Makna persembahan sering dipahami hanya sekedar sebagai suatu kewajiban agamawi. Umat merasa wajib memberikan persembahan agar Allah memberikan berkat dan rezekiNya. Itu sebabnya umat terdorong untuk memberikan persembahan dalam jumlah yang banyak agar mereka dapat memperoleh berkat yang berkelimpahan. Dengan demikian melalui ritus persembahan, secara tidak sadar mengungkapkan motif dan teologi umat. Persembahan mengungkapkan isi harapan, keinginan dan tujuan yang menjadi dasar motivasi kita dalam memberi. Sekaligus persembahan mengungkapkan bagaimanakah kerangka dan isi teologi umat tentang gambaran mereka tentang Allah. Jika mereka memiliki gambaran Allah sebagai pribadi ilahi yang dapat dipengaruhi oleh jumlah atau besarnya suatu persembahan, maka mereka akan memberikan persembahan dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya sehingga Allah akan membalas dengan berkat yang lebih berlimpah. Motif dan teologi mereka adalah Allah dapat disuap oleh besarnya persembahan. Padahal Allah dalam iman Kristen bukanlah Allah yang dapat dipengaruhi atau disuap oleh jumlahnya persembahan. Di Yes. 1:11, Allah berfirman: “Untuk apa itu korbanmu yang banyak-banyak? - firman Tuhan. Aku sudah jemu akan korban-korban bakaran berupa domba jantan dan akan lemak dari anak lembu gemukan, darah lembu jantan dan domba-domba dan kambing jantan tidak Kusukai”. Orang-orang kafir pada zaman dahulu sebenarnya mampu memberi lebih. Mereka sudah biasa mempersembahkan kepada para dewanya lebih dari pada sekedar hewan. Sebab orang-orang kafir pada zaman dahulu tidak segan-segan untuk mempersembahkan anaknya laki-laki atau perempuan untuk menyenangkan hati para dewanya (Ul. 18:10). Motif dan teologi mereka adalah Allah atau para dewa dapat dikendalikan oleh upaya manusia melalui persembahannya. Sehingga dengan motif dan teologi yang demikian, mereka tidak merasa perlu memperhatikan nilai ketulusan hati. Sebab yang terpenting adalah umat mampu mengatur kemauan Allah menurut ritual dan persembahan mereka.


Di Mark. 12:41 menyaksikan bagaimana banyak orang kaya memberikan persembahan dalam jumlah yang besar. Dalam hal ini penilaian Injil Markus terhadap beberapa orang kaya yang memberikan persembahan didasarkan pada penilaian Tuhan Yesus. Yang mana Tuhan Yesus menilai bahwa beberapa orang kaya tersebut memberikan persembahannya dengan motif dan teologi yang tidak benar. Dengan kemaha-tahuanNya, Kristus membaca isi hati umat. Dengan demikian ayat firman Tuhan di Mark. 12:41 tidak boleh dipakai oleh jemaat untuk menilai persembahan yang dilakukan orang kaya saat mereka beribadah. Kita tidak boleh menyamakan begitu saja persembahan orang kaya yang dikisahkan oleh Injil Markus dengan orang kaya yang kita jumpai saat mereka memberi persembahan. Sebab tujuan kesaksian Injil Markus tersebut adalah mengingatkan umat Allah sepanjang zaman agar mereka menyadari dengan sikap waspada bagaimanakah motif dan teologi mereka saat memberikan persembahan kepada Allah. Apakah motif dan teologi mereka lahir dari hati yang murni saat mereka memberikan persembahan, ataukah motif dan teologi mereka bertujuan untuk memperoleh keuntungan duniawi dengan upaya untuk mempengaruhi Allah. Itu sebabnya Injil Markus sengaja mengontraskan persembahan orang kaya yang memberikan uang dalam jumlah yang besar dengan persembahan seorang janda yang hanya memberi dalam jumlah yang sangat kecil. Terhadap persembahan janda tersebut, Tuhan Yesus memberikan penilaian yang mengejutkan, yaitu: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan” (Mark. 12:43). Dasar teologi Tuhan Yesus adalah: “Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya yaitu seluruh nafkahnya” (Mark. 12:44). Dari sudut nilai ekonomis persembahan janda tersebut sangat tidak berarti dibandingkan dengan persembahan dari para orang kaya. Tetapi dari sudut penilaian Allah, persembahan janda tersebut lebih besar dan bernilai sebab dia tulus memberikan dari seluruh nafkah atau harta yang dimiliknya. Sebaliknya persembahan uang orang kaya yang begitu banyak tidak selalu mencerminkan persembahan hatinya. Seberapa besar ungkapan syukur para orang kaya dalam mempermuliakan dan mengasihi Allah? Sering dalam praktek kehidupan jumlah persembahan para orang kaya yang sangat besar itu ternyata masih sangat kecil dengan jumlah investasi yang disimpan dan digunakan untuk memuaskan berbagai kepentingan pribadi. Seharusnya motif dan teologi persembahan kita mencerminkan persembahan hidup kita yang total dan menyeluruh. Rasul Paulus berkata: “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati” (Rom. 12:1).


Pengorbanan Kristus Sebagai Model

Surat Ibrani menyaksikan bagaimana kematian Kristus bukan sekedar mampu membawa Dia ke tempat kudus Allah, tetapi Dia menghadap hadirat Allah guna untuk membela kepentingan kita. Ibr. 9:24 berkata: “Sebab Kristus bukan masuk ke dalam tempat kudus buatan tangan manusia yang hanya merupakan gambaran saja dari yang sebenarnya, tetapi ke dalam sorga sendiri untuk menghadap hadirat Allah guna kepentingan kita”. Peristiwa kematian Kristus bukan sekedar suatu kematian martir dari seorang yang hidup benar dan kudus di hadapan Allah. Tetapi lebih dari pada itu kematian Kristus berfungsi sebagai karya pendamaian Allah dengan manusia, sehingga Dia berperan sebagai Imam Besar yang membawa korban darahNya sendiri di hadapan Allah. Karena itu selaku Imam Besar yang agung, Kristus tidak membawa darah korban dari hewan sesuai ketentuan hukum Taurat ke hadirat Allah. Darah hewan yang tidak bercela tidaklah mungkin dapat menghapus dan membenarkan dosa umat manusia. Hewan yang dikorbankan menurut hukum Taurat hanyalah lambang dari karya pengorbanan Kristus yang mendamaikan. Itu sebabnya Kristus membawa darah korban darahNya yang sempurna sehingga Dia dapat menebus dan menyucikan setiap dosa dan kesalahan kita. Kematian Kristus di atas kayu salib mampu mendamaikan dan membenarkan manusia, karena kematianNya merupakan wujud dari persembahan hidupNya selaku Anak Allah. Dengan demikian makna persembahan kita seharusnya merupakan ungkapan syukur atas karya pengorbanan Kristus yang telah terjadi. Persembahan atau pemberian dalam kehidupan kita sama sekali bukan bertujuan agar kita memperoleh keselamatan dan pembenaran dari Allah. Singkatnya persembahan atau pemberian yang kita lakukan bukanlah untuk memperoleh pahala keselamatan. Sebab realitas keselamatan tidaklah dapat diupayakan dengan jerih-payah, persembahan dan pengorbanan manusia. Realitas keselamatan dari Allah merupakan wujud dari anugerah Allah sebagaimana yang dinyatakan dalam pengorbanan Kristus. Ini berarti persembahan atau pemberian yang kita lakukan seharusnya meluap dari kemurahan dan kasih Allah yang berpusat kepada penebusan Kristus di atas kayu salib. Motif dan teologi persembahan kita adalah keselamatan Allah di dalam Kristus.


Namun betapa sering wujud persembahan atau pemberian hati kita dilepaskan dari karya penebusan Kristus. Sebab persembahan atau pemberian kasih yang kita lakukan sekedar suatu ekspresi dari kasih yang philantropis. Arti dari kasih yang philantropis menunjuk kepada suatu kepedulian yang didasari pada kedermawanan sosial. Padahal tindakan kedermawanan sosial (kasih yang philantropis) pada akhirnya akan berpusat kepada diri sendiri. Mereka memang sangat peduli dengan penderitaan dan pergumulan sesama, tetapi mereka gagal mempertemukan sesama yang menderita dengan Allah. Mereka cukup peduli dengan memberi bantuan yang diperlukan oleh sesama yang menderita, tetapi mereka gagal menempatkan penderitaan sesama dalam dimensi vertikal. Padahal makna persembahan atau pemberian hati seharusnya mampu menjembatani sesama untuk mengalami kehadiran Allah secara vertikal dan horisontal. Dengan demikian makna persembahan atau pemberian hati juga tidaklah identik dengan wujud dari bangunan dimensi vertikal saja (ritual religius). Ketidakseimbangan makna persembahan atau pemberian hati yang dilakukan oleh umat dapat terjadi karena bangunan dimensi vertikal sering tidak simetris dengan dimensi horisontal atau sebaliknya. Yang mana ketidak-simetrisan dimensi horisontal dan vertikal tersebut disebabkan hilang atau lepasnya Kristus sebagai pusat dan model yang esensial dari spiritualitas kita. Padahal Kristus selaku Imam Besar yang agung ditetapkan oleh Allah sebagai pengantara Allah (dimensi vertikal) dan manusia (dimensi horisontal) melalui inkarnasiNya. Jika demikian peristiwa inkarnasi Kristus dan karya penebusanNya seharusnya menjadi sumber yang memancar dan menginspirasi seluruh aspek kehidupan kita dalam hubungannya dengan Allah, dan hubungan kita dengan sesama. Pada saat kita menempatkan karya penebusan Kristus sebagai pusat hidup kita, maka kita dimampukan untuk mempersembahkan atau memberikan hati kita secara benar di hadapan Allah dan sesama.


Inklusif, Bukan Eksklusif

Karya penebusan Kristus selaku Imam Besar yang agung Allah pada hakikatnya terarah kepada dunia yaitu seluruh umat manusia. Dengan demikian sifat keterarahan persembahan dan pemberian hati kita seharusnya bersifat inklusif, yaitu kepada setiap sesama tanpa mempedulikan latar-belakang etnis, agama, filosofi, sosial-budaya dan adat-istiadat. Karya penebusan Kristus membuka akses yang memungkinkan setiap orang menerima anugerah keselamatan dan pengampunan Allah. Persembahan hidupNya bersifat inklusif, sehingga tidak ada seorangpun di antara umat manusia yang tidak berada dalam jangkauan kasihNya. Sehingga kita telah tersesat manakala kita mencoba untuk mempersempit wilayah kasih dan anugerah Kristus, yaitu hanya mempedulikan dan mengasihi sesama yang satu etnis atau satu agama dengan kita. Padahal persembahan hidup Kristus yang bersedia mengorbankan nyawaNya bertujuan untuk menjadi sumber yang memancarkan keselamatan kepada setiap umat. Karya keselamatan Kristus seperti air sungai yang terus mengalir untuk membasahi, menyirami dan menghidupi setiap bagian dari tanah yang dilewatiNya. Sehingga sejarah kehidupan umat manusia seharusnya ditandai oleh kelimpahan rahmat Allah dalam karya penebusan Kristus. Melalui Kristus, setiap umat dipanggil untuk saling memberkati dan mempersembahkan hidupnya untuk kemuliaan Allah. Namun umat yang telah menerima rahmat dan pengampunan Kristus tersebut ternyata memberikan respon yang beraneka-ragam. Di antaranya mereka lebih memilih untuk menyalurkan rahmat dan keselamatan Allah untuk kelompok dan golongannya sendiri. Juga di antaranya juga lebih memilih untuk memanipulasi rahmat dan keselamatan Allah untuk mencapai tujuan dan keinginan yang duniawi.


Dalam peristiwa gempa bumi di wilayah Jawa Barat dan Sumatra Barat dijumpai beberapa kasus yang menyedihkan hati. Para petugas tega untuk menuntut bayaran yang tinggi kepada keluarga korban yang dianggap tidak satu etnis atau berbeda agama. Dalam hal ini bangsa Indonesia perlu semakin sadar bahwa negara-negara yang sering dianggap “kafir” seperti Amerika Serikat dan Australia justru datang memberi pertolongan kepada siapapun yang membutuhkan tanpa mempedulikan latar-belakang etnis dan agama. Dalam situasi yang demikian, apakah terbukti benar bahwa kita membutuhkan RUU medis yang mewajibkan agar pasien yang menderita hanya boleh ditangani oleh dokter yang seiman. Seandainya RUU medis tersebut diterapkan dalam kasus bencana alam akan dijumpai begitu banyak korban yang harus mati secara sia-sia. Pola pikir yang dangkal tersebut selain tidak realistis, juga hanya menunjukkan sikap teologi yang jauh dari sikap kasih. Padahal teologi seharusnya menghadirkan realitas kasih dalam kehidupan nyata bersama dengan sesama yang berbeda tetapi berada dalam satu naungan rahmat Allah. Yang mana rahmat Allah di dalam Kristus bersifat inklusif. Semua umat manusia berada dalam karya penebusanNya. Hanya bedanya ada di antara mereka yang memilih untuk menolak dan ada pula yang percaya kepada Kristus dengan hidup sebagai orang-orang yang telah diperbaharui.


Panggilan

Makna memberi dengan hati bukanlah sekedar suatu ungkapan kedermawanan sosial. Demikian pula memberi dengan hati juga bukan sekedar suatu ungkapan ritual religius. Memberi dengan hati merupakan sikap iman yang proaktif sebab dilandasi oleh kasih dan keselamatan Allah di dalam pengorbanan Kristus. Sehingga makna memberi dengan hati pada hakikatnya mengungkapkan dan mengkomunikasikan isi hati Allah yang mengasihi setiap umat manusia. Hati Allah selalu memancarkan berkat kepada setiap umat tanpa terkecuali. Sehingga tindakan kita memberi dengan hati bertujuan untuk membawa sesama berjumpa dengan Allah sang sumber keselamatan. Dengan demikian motif dan teologi persembahan kita adalah seharusnya menempatkan karya keselamatan Allah di dalam Kristus sebagai sumber kasih dan rahmat yang terus mengalir untuk memberi hidup. Jika demikian makna persembahan atau pemberian hati kita tidak perlu membutuhkan media panggung untuk mengekspos diri kita. Juga kita tidak membutuhkan suatu nilai kuantitatif dalam persembahan sebagai tolok-ukurnya. Sebab yang menjadi pusat dan tolok-ukur seluruh persembahan kita ditentukan oleh seberapa murni hati kita mengasihi Allah. Apabila kita mengasihi Allah dengan segenap hati, maka seberapa kecilnya persembahan yang kita berikan menjadi suatu persembahan yang hidup dan berkenan. Sebaliknya apabila kita kurang mengasihi Allah, maka seberapa besarnya persembahan yang kita berikan akan menjadi suatu persembahan yang menjijikkan Allah. Jika demikian, bagaimanakah sikap hati saudara dalam mengasihi Allah? Amin.


Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar