Kamis, 10 Desember 2009

KORUPSI


KORUPSI DI MASYARAKAT KITA

Sungguh memprihatinkan, negara Indonesia mempunyai masyarakat yang
religius tetapi banyak korupsi. Gereja setiap ada ibadah penuh, Masjid
juga penuh, tetapi korupsi jalan terus. Ini karena ajaran agama salah
dihayati. Korupsi adalah penyakit yang ditimbulkan oleh pemisahan
ajaran agama dari perilaku keseharian manusia. Memang, korupsi bisa
saja dilakukan semua orang baik yang beragama maupun yang tidak
beragama, tetapi ajaran-ajaran agama dengan jelas mengajarkan moralitas
yang baik, dengan jelas pula meng-haram-kan
praktek-praktek korupsi, mencuri dan sejenisnya. China, negara komunis
juga pernah menderita akibat praktek korusi, namun semenjak PM Zhu Rong
Zi menjabat, ditegakkan suatu hukum yang ketat untuk membasmi korupsi.
Bahkan dengan tegas ia mengatakan kalau saja ada yang bisa membuktikan
dia korupsi, dia bersedia dihukum mati. Dan dengan kejelasan hukum itu
menjadi salah-satu tonggak kemajuan The New Modern China saat ini.

Korupsi adalah merupakan masalah yang kompleks. Ia berakar dan
bercabang di seluruh masyarakat. Entah di organisasi yang berorientasi
keagamaan maupun sekuler. Dalam arti luas, korupsi mencakup praktek
penyalahgunaan kekuasaan dan pengaruh. Bentuk korupsi yang paling umum
adalah “nilep dana”. Mencuri (menilep) uang kas, mark-up dana proyek
dsb. Hal tersebut sudah biasa dilakukan di negara kita ini. Dan dimata
internasional negara ini tidak bisa mengelak bahwa Indonesia termasuk
negara yang terkorup nomor sekian. Tidak ada bidang kehidupan di negara
ini yang belum tercemar virus korupsi jenis ini, baik yang kecil maupun
yang besar.

Belum lagi model korupsi yang sifatnya “suap” atau “sogok” yaitu
memberi sesuatu kepada pejabat agar ia melakukan sesuatu yang
sebenarnya wajib dilakukannya secara cuma-cuma. Pemberian itu tidak
terbatas pada uang, tetapi bisa berbentuk mobil, tanah, perhiasan,
rumah, seks, makanan dan minuman, emas, batu mulia, saham, dll. umumnya
yang dihargai oleh si pejabat. Suap semacam ini lazim oleh orang Jepang
disebut “peanut”, artinya peanut (kacang) itu kecil nilainya, yang
sebenarnya tidak layak jika dibanding dengan dampak yang diderita negara/rakyat secara keseluruhan.

Pembenaran suap beragam coraknya. Ada yang berpendapat bahwa suap itu
sebenarnya sekadar hadiah di antara kawan, sebagai balasan atas
kemurah-hatian yang tidak ada hubungan dengan jabatan si penerima.
Bahwa hal-hal itu merupakan imbalan pengganti tenaga dan pikiran yang
telah diberikan oleh si pejabat. Azas timbal-balik adalah norma dasar
yang dianuti setiap kebudayaan di sepanjang masa. Lazimnya, penerima
hadiah merasa berhutang pada pemberi hadiah. Menolak hadiah, atau
menerima hadiah tetapi kemudian tidak membalas dianggap sikap
permusuhan. Namun demikian memberi hadiah kepada seorang pejabat tinggi
juga dinilai negatif, yaitu sebagai upaya menjilat, menjalin hubungan,
atau mempengaruhi. Seorang penguasa yang menerima sogokan dan tidak
membalasnya dengan jasa, dianggap tidak bijaksana, dan tidak adil.

Ada sementara anggapan bahwa sogok atau suap baru dianggap tidak
bermoral apabila ia disoroti dan dikecam oleh masyarakat luas. Bila
tidak terjadi pengecaman, maka suap cuma dianggap sebagai cara yang
praktis untuk memperoleh tanggapan positif atas suatu permohonan dan
upaya untuk memuluskan suatu usaha tertentu.

Kasus yang terkenal pada jaman Yesus ini adalah "suap" kepada Yudas
Iskariot, ia menerima 30 keping uang perak untuk harga seorang Mesias.
Meskipun pada waktu itu istilah suap mungkin belum muncul, tetapi
inilah salah satu model suap. Dan kemudian penerima suap melakukan
sesuatu seperti yang diingini oleh pemberi suap. Transaksi ini mirip
dengan jual-beli.

Penegakan moral anti-suap jarang terjadi. Yang terjadi hanya sekedar
kasak-kusuk pembicaraan atau gossip, di negara ini belum ada rujukan
Hukum yang pasti mengenai suap ini. Yang dikecam adalah yang menerima
suap, sedangkan yang memberi suap bebas dari kutukan masyarakat. Hal
biasanya terjadi ialah seorang penyuap akan kecewa tatkala penerima
suap tidak melakukan sesuai yang dikehendakinya.

KORUPSI – MENCURI

Akibat korupsi, hanya akan ada kekacauan hukum dan kekerasan, karena
orang menjadi ‘serigala’ bagi sesamanya, karena orang mau menjajah
sesama warga masyarakat atau warga negara lainnya. Praktek-praktek
korupsi yang kita jumpai di negara ini adalah justru dilakukan oleh
orang-orang yang terpilih untuk mengemban amanat rakyat (wakil-wakil
rakyat) dan para pejabat. Praktek ini telah begitu mewabah dan mungkin
sudah menjadi tradisi di hampir seluruh lapisan masyarakat yang
memegang jabatan.

Korupsi bisa disamakan dengan mencuri, karena mereka telah mengambil
sesuatu yang bukan haknya. Indonesia adalah negara yang berketuhanan,
dan setiap agama tidak pernah mengajarkan umatnya untuk melakukan hal
ini. Dengan demikian memberantas korupsi menjadi tugas seluruh lapisan
masyarakat termasuk kaum agamawan yang selama ini dianggap umat
masyarakat mempunyai otoritas memberikan pengajaran dan teladan bagi
umat. Keadaan sekarang menuntut mereka untuk tidak hanya sekedar
menyampaikan hal-hal bersifat ritualistik tetapi penting para pembina
rohani itu mengajar dalam bentuk dorongan moral. Paradigma lama yang
menganggap pemberantasan korupsi tidak terlalu penting harus segera
diubah. Melalui keyakinan bahwa memberantas korupsi menjadi jihad/
perang rohani/ perang moral dan perlu diterapkan kepada seluruh lapisan
masyarakat untuk terlibat aktif.

Negara ini sudah terlalu lama menderita, rakyat berharap negara ini
maju, yaitu rakyat bebas dari segala penderitaan dan dapat menikmati
kesejahteraan. Sayangnya, justru penderitaannya diteruskan karena
cita-cita bangsa dengan segala aspirasinya dikorupsi oleh kelompok
bangsanya sendiri

KORUPSI DALAM GEREJA

Yang menarik adalah bahwa korupsi atau penyalahgunaan dana yang bukan
haknya terjadi pula dalam dunia "suci" seperti dana urusan naik haji di
Depag, misalnya. Ada pepatah yang mengatakan bahwa "Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak selalu korup!" Keadaan semacam itu terjadi juga dalam sejarah gereja.

Ketika Kaisar Constantine memeluk agama Kristen, kemudian Istitusi
Gereja dan Imperium Romawi menyatu dan kekuasaan Gereja Katolik Roma
mulai menggusur bentuk-bentuk kekuasaan yang lain. Pada saat itu pula
praktek suap mulai berbentuk jual-beli jabatan gereja. Transaksi
jual-beli kedudukan dalam birokrasi gereja atau simoni tak tersentuh
hukum. Mereka menganggap hukuman hanya diberikan di akhirat. Di dunia,
seorang yang bersalah paling sial hanya diusir dari gereja, atau
dipecat dari jabatannya. Pada saat itu pula terjadi jual-beli surat
pengampunan dosa yang merajalela. Praktek yang menyebar pesat ini
merupakan sumber penghasilan gereja yang amat penting.

Bahwa ada bagian dari Yudas Iskariot dalam setiap pribadi kita umat
Allah, mungkin diantara anda tidak setuju dengan pendapat ini. Tetapi
mari kita pelajari karakter Yudas ini yang dikenal sebagai salah-satu
murid Yesus yang memegang uang-kas pelayanan Yesus bersama
murid-muridNya. Alkitab dengan jelas menulis bahwa ia adalah seorang
pencuri.

* Yohanes 12:6

….. karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya.

Berapapun besarnya kekuasaan/wewenang atau seberapa terbatasnya
kekuasaan, korupsi adalah salah satu penyalahgunaan kekuasaan. Yudas
diberi wewenang untuk mengelola uang kas, dan ia menyalahgunakan
wewenang yang diberikan kepadanya. Yudas dipanggil Yesus untuk menjadi
muridNya, tetapi kedekatannya dengan Yesus tidak juga membawanya
menjadi baik, karena memang ia sengaja menjauhkan dirinya daripada
mengikuti teladan-teladan yang diajarkan Yesus. Yudas membawa-bawa uang
kas, itu sama dengan anda dan saya, bukan?. Kita diberi berkat dari
Allah secara materi, namun apakah kita lebih mencintai harta daripada
Tuhan sendiri, sehingga kita mungkin punya kecenderungan menjadi
pencuri seperti Yudas.

Yang kita jumpai sekarang ini, betapa banyak Hamba Tuhan (pendeta,
diaken, pengurus, dll) yang menyarankan jemaat untuk setia memberi
persembahan, membayar perpuluhan rutin dan menyantuni orang miskin,
namun pada akhirnya justru mereka para penghimpun dana gereja ini jatuh
dalam dosa ‘pencurian’ terhadap uang kas gereja. Bahkan tidak jarang
uang persembahan itu menjadi asset pribadi. Mereka menghimpun dana
diakonia dari jemaat, tetapi giliran ada jemaat/orang miskin/orang
sakit yang butuh disantuni, mereka akan berdalih banyak-banyak dengan
menggunakan strategi birokrasi gereja yang bertele-tele, padahal dana
diakonia itu dipersembahkan para jemaat dengan hati yang tulus.
Bukankah ini sering kita temui?

Memang, Tuhan memandang perlu akan pentingnya uang untuk pelayanan, dan
setiap hamba Tuhan yang melayani jemaat berhak mendapatkan upahnya (1
Korintus 9:9-14). Tetapi tidak sedikit para pelayan Tuhan ini
terjangkit penyakit "cinta uang" dan itu jahat dimata Tuhan (Roma
16:17-19).


Mengapa korupsi juga melanda gereja?

Ada permasalahan teologis terletak di sini, yaitu gereja secara
keseluruhan belum memberi pemahaman yang alkitabiah tentang Salib.
Pengertian Salib ialah Yesus yang menderita untuk keselamatan
ciptaan-Nya. Orang yang bersedia menderita dengan tidak mengikut cara
duniawi untuk memperoleh kehidupan “layak, mewah, serba wah” itulah
hidup dalam Salib. Salib berarti menderita. Untuk mencapai kepuasan di
dunia, kita tidak mengikuti arus duniawi. Korupsi, jelas merupakan
tindakan yang menanggalkan dan membuang jauh penghayatan kita tentang
Salib. Sebab kebahagiaan/ kepuasan tidak dapat terpenuhi hanya dari
segi materi saja.

Tuhan Yesus sudah memberi teladan bagi kita bagaimana hidup yang
berarti bagi orang lain yaitu melalui jalan salib untuk mana kitapun
diundang mengikutinya. Yesus Kristus dalam pengajaranNya yang sangat
terkenal Kotbah di Bukit menyatakan "Berbahagialah orang yang menderita oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga." (Matius 5:10).Tindak korupsi, apalagi yang dilakukan didalam lingkungan gereja oleh
para hamba Tuhan, itu jelas bukan suatu pengabaran tentang Injil Salib!.

* Ibrani 13:5

"Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa
yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman:”Aku sekali-kali tidak
akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan
engkau."


PENANGGULANGAN KORUPSI

Muncul ide dari beberapa pakar agar budaya korupsi itu pelan-pelan
dihilangkan lewat pendidikan. Mungkinkah? Apakah pendidikan kita dapat
menjadi sarana untuk menekankan nilai "anti korupsi" pada orang-orang
kita?

Romo Magnis pernah berpendapat bahwa agama telah gagal menjadi
pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku
masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Mereka mengangap bahwa agama
hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja, sehingga
agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran sosial. Karena
perannya tidak berarti, pesan-pesan/ ajaran-ajaran agama hanya sebatas
seruan saja. Karena hanya sebatas seruan saja, agama tidak memiliki
pengaruh apapun terhadap persoalan korupsi. Semestinya agama/gereja
bisa memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial
dibanding institusi lainnya. Sebab agama mempunyai korelasi atau
hubungan emosional dengan para pemeluknya. Jika diterapkan dengan
benar, maka kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bisa
menyadarkan umat, bahwa korupsi bisa membawa dampat yang sangat buruk.
Dampak itu bukan saja kepada kondisi masyarakat, bangsa dan negara
saja, tetapi terlebih kepada beban rohani setiap pemeluknya dimana
mereka harus mempertanggung-jawabkan dosa itu kepada Tuhan.

Selain itu Romo Magnis berpendapat bahwa, musti pula diciptakan opini
publik bahwa korupsi tidak sejalan dengan misi agama. Korupsi berdampak
buruk dilihat dari sudut pandang ajaran agama. Dengan demikian kiranya
opini tersebut dapat mempengaruhi keberanian para politisi dalam
memungkinkan terjadinya korupsi.

Kita perlu seorang pemimpin atau politisi yang mempunyai komitment anti korupsi dan menciptakan hukum
yang jelas terhadap tindak korupsi apapun, seperti mantan Perdana
Mentri China Mr. Zhu Rong Zi, tetapi beliau ini sampai sekarang
sepertinya masih komunis (atheis)………


Ironis, bukan?


Source :